Satu Cinta Dua Dunia

Selasa, 25 Oktober 2016

Satu Cinta Dua Dunia



Kriiing…!!Kriiiing….!!Kriiing…!! Pagi itu suara alarm terdengar seolah memanggil Chandra untuk segera lekas meninggalkan alam mimpinya. Dengan mata yang masih sayup dan rasa malas yang masih menempel di sekujur tubuhnya, Chandra pun memaksakan diri untuk segera bangun. “Hooaaamm…. Duuh jam berapa sih?” gumamnya sembari mengambil jam weker yang masih berbunyi tepat disebelah tempat tidurnya. “HAAHH!! JAM 9!!” Chandra pun spontan melompat dari kasurnya dan segera berlari ke kamar mandi dengan tergesa-gesa setelah menyadari jika dia sudah kesiangan.

Sementara itu di lain tempat, sudah hampir satu setengah jam Naya dengan sabarnya menunggu Chandra di warung tempat biasa mereka bertemu. “Huuh! Kemana sih nih si Chandra jam segini belum dateng juga?! Bisa telat nih interview kerjanya!” gumam kesal Naya di dalam hati sambil sesekali melihat jam tangan yang ia kenakan di tangan kirinya. Tak lama terdengar suara motor yang sudah tak asing lagi di telinga Naya. Ketika dilihat ternyata benar itu adalah Chandra yang datang dengan motor Vespa klasiknya. Begitu Chandra melihat Naya yang sudah mulai mengkerutkan dahi di wajahnya dan sedikit memberikan tatapan tajam kepadanya ia pun langsung meminta maaf.

“Maaf cintaa aku kesiangan.. hehe.” saut Chandra sambil menggaruk-garuk kepalanya. “Ahhh kamu sih emang telat terus! Ayo buruan anter aku!” jawab Naya dengan nada bicara yang sedikit tinggi sembari naik ke Vespanya Chandra.
Sepanjang perjalanan menuju kantor tak sepatah kata pun terdengar dari mulut mereka berdua, tentunya selain suara knalpot Vespa si Chandra yang bersuara nyaring mereka juga saling menunggu untuk ditegur lebih dulu. Hingga akhirnya sampailah mereka di kantor tempat Naya akan diinterview.

“Mau aku jemput jam berapa?” Tanya Chandra sambil memegangi helm yang diberikan Naya. “Eemm… nanti aku telpon aja, tapi jangan telat lagi ya!” jawab Naya terburu-buru. Chandra pun hanya menganggukan kepalanya sambil tersenyum sembari melihat Naya berlari masuk ke kantornya.

Dua jam sudah Chandra menunggu di warung dekat kantor Naya diinterview. Handphone Chandra pun mulai berbunyi karena ada pesan masuk dan setelah dilihat itu adalah pesan masuk dari Naya yang minta untuk dijemput, dengan segera Chandra pun bergegas menjemput Naya agar tidak membuatnya marah lagi. Sesampainya di depan kantor Naya pun langsung menghampiri Chandra dengan sebuah senyuman yang menggambarkan keceriaan di wajahnya, seolah-olah dia sudah melupakan kejadian tadi pagi. “Gimana interviewnya? Sukses?” tanya Chandra. “Sukses dooong! Besok aku udah boleh mulai kerja di sini.” jawab Nayadengan penuh semangat sembari menaikan kedua tangannya sebagai ekspresi keberhasilannya.

Mereka pun kembali pulang, kali ini sepanjang perjalanan mereka tak lagi saling diam. Naya bercerita mulai dari bagaimana rasa tegang yang muncul ketika diwawancara hingga kejadian-kejadian lucu saat dia sedang menunggu giliran interview dan Chandra pun sesekali ikut tertawa saat mendengar ceritanya seolah-olah ikut larut dalam kebahagiaan yang dirasakan oleh Naya.

Mereka pun sampai di warung tempat Chandra menjemput Naya tadi. Warung itu adalah tempat yang biasa dijadikan Chandra dan Naya sebagai tempat pertemuan mereka, itu karena hubungan mereka yang tak pernah direstui oleh ayah Naya. Ayah Naya adalah seorang petinggi polisi yang selalu memandang orang lain dari penampilannya dan juga melihat orang lain dari segi materinya. Maklum saja, itu karena keluarga Naya memang keluarga yang terpandang. Chandra yang bisa terbilang berpenampilan kurang rapi karena dengan potongan rambutnya yang agak keriting dan gondrong serta cara berpakaiannya yang santai. Hanya dengan kaos oblong dan celana jeans yang sudah robek-robek jelas membuat ayah Naya tidak senang jika Naya harus berteman bahkan pergi dengan Chandra. Ditambah lagi Chandra bukan dari golongan orang yang berada. Namun hal itu tidak membuat dua sepasang insan ini menyerah. Mereka terus memperjuangkan cinta yang mereka yakini akan bahagia pada akhirnya nanti.

            Tepat tengah hari terlihat Chandra sedang memarkirkan Vespanya di salah satu toko kue. Dia bermaksud ingin membelikan kue kesukaan Naya untuk diberikan kepada Naya sebagai kado dalam rangka merayakan hubungan mereka yang sudah berpacaran selama enam tahun. Besok tepat tanggal 23 Juni yang jatuh pada hari Minggu. Itu adalah tanggal di mana mereka mulai membangun kisah kebersamaan mereka. Chandra pun yang sekarang sudah masuk semester delapan bermaksud ingin membuat kejutan ke Naya yang dia rasa sudah mulai sibuk dengan pekerjaannya karena mereka sudah tak sesering dulu lagi untuk saling bertemu. Chandra pun mulai menghubungi Naya untuk memintanya datang ke warung besok malam.

Malam yang dinanti pun tiba. Bulan sudah mulai menyinari bumi ditemani ribuan bintang di sekitarnya. Handphone Chandra pun berbunyi dan itu telepon dari Naya yang sudah minta untuk dijemput. Dengan segera Chandra langsung mengambil kunci dan langsung berlari ke arah Vespanya yang memang sudah disiapkan dari pagi tadi untuk menjemput Naya. Dinyalakan Vespanya dengan penuh semangat dan segera ia pacu Vespa itu sehingga terdengar suara nyaring yang cukup membuat telinga pengang.

         Sampailah Chandra di warung dengan penuh harapan dapat memberikan kejutan terbaiknya untuk kekasih terbaiknya itu. “Kamu mau ngajak aku kemana?” tanya Naya sembari mengernyitkan dahinya. “Udah. Naik aja. Nanti kamu juga akan tau kita mau kemana.” jawab Chandra dengan santainya. Dengan senang hati Naya naik ke Vespa Chandra dan Chandra pun mulai memacu Vespanya. “Ehm… kamu kok tumben wangi banget hari ini?” sahut Naya sesaat setelah ia mengendus tubuh Chandra karena dia tak biasanya sewangi ini. Chandra pun hanya bisa tertawa kecil saat itu.

Setibanya di rumah Chandra, “Hah? Ngapain kamu ngajak aku ke rumah kamu?” tanya Naya yang masih bingung.  “Udah tenang aja, aku nggak akan berbuat jahat kok sama kamu. Yuk!” jawab Chandra yang saat itu langsung menarik Naya ke depan pintu rumahnya. 

“Eeehhh apaan nih??” Sahut Naya yang saat itu matanya langsung ditutupi dengan kain hitam oleh Chandra. “Tenang..tenang.. sebentar ya.” jawab Chandra sembari mulai membuka pintu rumahnya dan mulai menuntun Naya masuk dan menuju ruang tamu. Diantarkanlah Naya duduk di sofa yang telah disiapkan di ruang tamu itu. Chandra pun mulai menghitung untuk membuka kain hitam yang menutupi mata Naya.

“Siaap ya. 1.. 2.. 3!!” dibukanya kain hitam itu dari mata Naya. Naya seketika terkejut saat melihat ada kue brownies kesukaannya dengan sedikit sentuhan lainnya seperti lilin-lilin kecil, buah cerry, dan tulisan “You’re my dream and my destiny.” yang menghiasi kue brownies itu. Tiba-tiba Chandra langsung mencium kening Naya yang saat itu masih terpaku karena mendapat kejutan dari Chandra ini. 

“Happy anniversary yang ke- 6 sayang.” seru Chandra setelah tadi sempat mencium kening kekasihnya itu. “Maap ya aku cuma bisa ngasih ini hehe.” lanjut Chandra. Malam pun berlanjut seiring keceriaan yang terus berlanjut. Terlihat wajah yang bahagia serta senyuman dan tawa yang lepas menghiasi sepasang kekasih ini di malam itu.

***
         Seminggu lebih Chandra tak mendengar kabar dari Naya. Seminggu lebih mereka tak saling berkomunikasi. Seminggu sudah Naya tak masuk kantor. “Kemana sih kamu?” Tanya Chandra dalam hatinya yang terlihat cemas. “Apa kamu sakit? Kenapa kamu tiba-tiba menghilang kayak gini?” cemas Chandra dalam hatinya yang tak lagi setenang kemarin. Malam itu bulan hampir tak terlihat karena tertutup oleh awan yang gelap. Suara-suara jangkrik sudah mulai tak terdengar lagi untuk memecahkan kesunyian malam. Saat ini Chandra berbaring di kamarnya sambil sesekali mengintip bulan dari selah-sela jendelanya yang tertutup oleh tirai.

Berbisik dalam hatinya, “Apa aku harus ke rumahnya besok? Apa aku harus?” tekad itu muncul dari dalam diri Chandra tapi tak lama tekad itu kembali hilang saat Chandra teringat harus menghadapi ayah Naya nantinya.

           Pagi pun tiba. Nampak Chandra yang masih terjaga karena rasa resah, gelisah, dan gundah gulana. Semua tercampur aduk menjadi satu membuat Chandra tak lagi dapat berpikir jernih. “Ahh Sudahlah! Persetan dengan ayahnya nanti! Yang penting aku dapat bertemu dengan Naya.” tekad itu pun muncul dari dalam diri Chandra. Dengan tergesah-gesah Chandra punlangsung mendatangi rumah Naya.

Tapi setibanya di rumahnya, Chandra tak menemukan seorang pun penghuninya. Rumah itu terlihat kosong, seakan-akan sudah lama ditinggal pergi oleh pemiliknya. Chandra yang masih berusaha mencari Naya memberanikan diri untuk menekan bel yang menempel di samping pagar rumah itu. Ditekannya sekali, tak ada yang keluar. Ditekannya dua kali, masih tak ada respon. Dicobanya lagi untuk ketiga kalinya, namun masih tak ada respon. Chandra yang mulai putus asa akhirnya memutuskan untuk pergi. Belum sempat melangkahkan kaki untuk kedua kalinya tiba-tiba terdengar seperti suara kunci sebuah pintu yang sedang berusaha dibuka. 

“Siapa ya?” tanya seorang ibu-ibu yang keluar dengan mengenakan daster menghampiri Chandra. “Eemm.. Nayanya ada bu?” tanya Chandra yang sedikit gugup karena tak tahu siapa ibu-ibu ini.

“Oohh cari non Naya? Mas ini siapa ya?” kembali ibu-ibu itu bertanya pada Chandra. “Eemm saya Chandra bu, temannya Naya,” jawab Chandra sembari tersenyum simpul. “Oohh.. temannya non Naya. Maaf mas memangnya mas Chandra tidak tahu kalo non Naya sedang ke Singapura untuk menjalani pengobatan mas?”

Sontak saat itu Chandra langsung terkejut mendengar jawaban dari Ibu-Ibu itu. Pasalnya selama ini Chandra tak pernah tau jika Naya mengidap sebuah penyakit tertentu. Chandra pun mulai bertanya lebih jauh tentang pengobatan yang dijalani oleh Naya dan ibu-ibu itu pun mulai menjawab satu-persatu pertanyaan dari Chandra.

Sudah hampir 15 menit mereka saling bicara. Raut wajah Chandra terlihat semakin lesu, tatapan matanya pun berubah menjadi kosong. Perlahan Chandra mulai melangkahkan kakinya untuk pergi tapi tiba-tiba ibu tadi berlari menghampiri Chandra dan memberikan sepucuk surat kepadanya. Dia bilang jika surat itu dari Naya yang dititipkan padanya. Chandra langsung menyimpan surat itu dan pergi pulang agar bisa sesegera mengetahui apa isi surat tersebut. Sesampainya di rumah, Chandra berlari ke kamar dan mengunci rapat-rapat kamarnya, berharap tak ada seorang pun yang akan mengganggunya.


“Dear My Love.. Terima kasih untuk semua kebaikan dan kasih sayang yang telah kamu kasih untuk ku. Terima kasih karena telah menjadi sumber semangat dalam hidupku. Banyak hari yang telah kita lewati bersama, banyak waktu yang sudah kita habiskan bersama. Tiap detik, menit dan jam saat bersamamu bukanlah waktu yang sia-sia untuk ku. Sayangku, mungkin saat kau membaca surat ini, aku sedang berjuang melawan maut di ruang operasi pengangkatan tumor otak ku ini. Sayangku, kali ini aku benar-benar merasa berat karena harus melewati operasi ini tanpa kamu di sisiku. Kata dokter kesempatan untuk ku hidup kali ini tidaklah besar karena penyakitku ini sudah stadium akhir. Tapi aku akan terus berjuang untuk hidup demi menjalani sisa hidup ini bersamamu. Tapi jika takdir berbicara lain, maka maafin aku yang tidak bisa menepati janjiku untuk menjadi pendamping hidupmu. Maafin aku karena aku tak bisa di sisimu dan memelukmu hingga tua nanti. Maaf karena aku belum bisa meyakinkan Ayah untuk bisa menerimamu. Maaf karena aku harus meninggalkanmu lebih dulu. Tapi percayalah sayang, walau kita terpisah kita akan tetap memiliki satu cinta yang sama walaupun berada di dua dunia yang berbeda sekalipun. Seperti itulah cinta kita. Sampai bertemu lagi sayangku, entah di kehidupan yang sama atau mungkin di kehidupan yang lain. Always love you..
From You’re Destiny
Naya”


Nampak Chandra tak sanggup lagi menahan air matanya yang mulai turun dan membasahi pipinya. Tangannya masih bergetar sambil menggenggam erat surat yang mulai terbasahi oleh tetesan-tetesan air matanya yang jatuh. Chandra pun menyesal karena tak bisa berbuat apa-apa selain menahan kesedihannya saat ini. Andai ia tahu jika perayaan enam tahun kemarin adalah kesenangan terakhirnya bersama kekasihnya. Maka ia akan memberikan waktu yang lebih lama untuk bersama Naya. Tapi apalah daya, takdir Tuhan Yang Maha Kuasa sudah digoreskan dan kini Chandra hanya bisa berharap Naya akan sembuh dan kembali padanya. Chandra pun mulai menggelar sajadahnya dan berdo’a pada sang Pencipta untuk keselamatan Naya, orang yang sangat ia cintai.

0 komentar :

Posting Komentar